search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Ni Ketut Nepa, Penari Kesenian Berko yang Kini Berusia 1 Abad
Sabtu, 19 Februari 2022, 00:00 WITA Follow
image

beritabali/ist/Ni Ketut Nepa, Penari Kesenian Berko yang Kini Berusia 1 Abad.

IKUTI BERITAJEMBRANA.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAJEMBRANA.COM, JEMBRANA.

Kekayaan kesenian yang dimiliki Kabupaten Jembrana ternyata sangat banyak. Salaha satunya kesenian khas yang dimiliki Kabupaten Jembrana di era 1920an, Kesenian itu bernama kesenian Berko. 

Berko merupakan kesenian hiburan yang Kesenian hiburan yang memadukan tatabuhan, tarian serta kakidungan (tembang tradisional Bali) dengan pragina (seniman) ini berada di Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana. 

Kesenian yang awalnya untuk hiburan masyarakat setelah berkebun atau bertani pada jamannya itu kini menjadi kesenian asli Jembrana. 

Berko yang merupakan Kesenian hiburan masyarakat Kabupaten Jembrana pada tahun 1920-an ini, kini sudah jarang di pentaskan lantaran susahnya regenerasi penabuh dan penarinya. 

Salah satu penari Berko yang masih tersisa Ni Ketut Nepa, 120 kini dengan keadaan yang kurang mampu berharap adanya perhatian Pemerintah, khususnya Kabupaten Jembrana. 

Salah satu maestro penari Berko yang masih tersisa hingga saat ini Ni Ketut Nepa, 120 asal Lingkungan Pancar Dawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana. Saat ditemui di kediamannya, Selasa (11/01/2022) sangat antusias saat membahas kesenian yang membesarkan namanya itu.

"Dulu pertama kali saya menari Berko saat usia 15 tahun, pada tahun 1916 kalau tidak salah," ungkapnya. 

Nenek yang akrab di sapa Dadong Barak di daerahnya ini juga menjelaskan, awal mula adanya kesenian Berko ini Ia tidak ingat pada tahun berapa tepatnya. Namun, ia menceritakan tarian Berko ini dibuat untuk hiburan warga usai bekerja. 

"Awalnya hanya hiburan, tampilnya juga pada jaman dulu tahun 1930-an pada sore hari karena dulu belum ada listrik, jadi penerangan hanya menggunakan obor dan sentir (lampu tradisional)," jelasnya. 

Nenek yang kini sudah berumur 1 abad, Ni Ketut Nepa (120) mengatakan, hanya bisa menikmati hidupnya yang serba berkecukupan, namun ketika merasa bosan Ia biasanya mengunjungi cucu atau buyutnya yang ada di utara tempat tinggalnya itu.

"Kalau bosan di rumah saya juga mencari kayu bakar, tapi secukupnya saja saya bawa, tenaga saya tidak seperti dulu lagi, tapi saya kalau sudah disuruh menari Berko pasti bersemangat," paparnya. 

Nenek yang tinggal bersama anak ketiganya I Nyoman Sila, 65 ini juga menyampaikan, dulu penduduk Jepang antara tahun 1942 sampai tahun 1945, sangat menggemari kesenian Berko ini. 

"Saya dengan almarhum suami memang senang Berko, suami menjadi penabuh, saya menjadi penari. Sayangnya memasuki era 1970-an, kesenian itu mulai meredup dan makin tenggelam pada 1980. Sebabnya lantaran tidak ada perhatian dari pemerintah," tegasnya. 

Namun demikian, lanjut Dadong Barak, Ia bersama almarhum sang suami dulunya tetap mengajarkan tetabuhan dan tarian Berko kepada generasi muda, meski tidak mendapatkan upah sepeserpun.

"Kami hanya ingin kesenian Berko ini tetap ada, dan tidak punah, mudah-mudahan kesenian asli Jembrana (Berko) ini cepat mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya pemerintah Jembrana ini," harapnya.

Editor: Robby Patria

Reporter: Jimmy

Banner

Iklan Sponsor



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritajembrana.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Jembrana.
Ikuti kami